B-52 Stratofortress

 

B-52 Stratofortress adalah pesawat pengebom strategis yang legendaris dan ikonik yang dimiliki oleh Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF). Pesawat ini dikenal dengan sebutan "Buff" (Big Ugly Fat Fellow) karena ukurannya yang besar dan bentuknya yang khas. B-52 menjadi salah satu pesawat militer paling terkenal dan berpengaruh dalam sejarah penerbangan militer, dan telah menjadi tulang punggung kekuatan pengeboman strategis AS selama lebih dari enam dekade.

Awal mula pengembangan B-52 Stratofortress dimulai pada tahun 1940-an, ketika Air Materiel Command (AMC) mengeluarkan karakteristik kinerja yang diinginkan untuk pengebom strategis baru. Pesawat tersebut diharapkan mampu menjalankan misi strategis tanpa bergantung pada pangkalan aju dan menengah yang dikendalikan oleh negara lain. Spesifikasi yang dikeluarkan AMC mencakup kriteria seperti memiliki awak lima atau lebih, menara senjata, dan enam awak bantuan. Pesawat tersebut juga harus mampu terbang dengan kecepatan jelajah 300 mph (260 knot, 480 km/jam) pada ketinggian 34.000 kaki (10.400 m) dengan radius tempur mencapai 5.000 mil (4.300 mil laut, 8.000 km). 

Selain itu, pesawat ini diharuskan dilengkapi dengan kanon 20 mm dalam jumlah yang tidak ditentukan dan mampu membawa muatan bom seberat 10.000 pon (4.500 kg). Pada 13 Februari 1946, Angkatan Udara Amerika Serikat mengeluarkan undangan penawaran untuk spesifikasi ini, dan tiga perusahaan, yaitu Boeing, Consolidated Aircraft, dan Glenn L. Martin Company mengajukan usulannya masing-masing. Setelah melalui proses penilaian, pada tanggal 5 Juni 1946, Boeing Model 462, sebuah pesawat sayap lurus yang ditenagai oleh enam turboprop Wright T35 dengan bobot kotor 360.000 pon (160.000 kg) dan radius tempur mencapai 3.110 mil (2.700 nmi, 5.010 km), dinyatakan sebagai pemenang. 

Pada bulan November 1946, Jenderal Curtis LeMay, Wakil Kepala Staf Udara untuk Penelitian dan Pengembangan, menyatakan keinginannya agar pesawat memiliki kecepatan jelajah 400 mil per jam (345 kn, 645 km/jam). Boeing menanggapi permintaan ini dengan mengembangkan pesawat dengan berat sekitar 300.000 pon (136.000 kg). Pada bulan Desember 1946, Angkatan Udara meminta Boeing untuk mengubah desain mereka menjadi pengebom empat mesin dengan kecepatan tertinggi 400 mil per jam, jangkauan 12.000 mil (10.000 nmi, 19.300 km), dan kemampuan untuk membawa senjata nuklir. 

Bobot total pesawat diperkirakan mencapai 480.000 pon (220.000 kg). Dalam menghadapi tantangan ini, Boeing mengusulkan dua model pesawat dengan menggunakan turboprop T35 sebagai tenaganya. Model 464-16 diusulkan sebagai pengebom "nuklir" dengan muatan bom seberat 10.000 pon (4.500 kg), sementara Model 464-17 diusulkan sebagai pengebom serbaguna dengan muatan bom seberat 9.000 pon (4.000 kg). Karena pertimbangan biaya dan kebutuhan akan pesawat yang serbaguna, Angkatan Udara akhirnya memilih Model 464-17 dengan pemahaman bahwa model tersebut dapat diadaptasi untuk serangan nuklir. 

Namun, pada bulan Juni 1947, Angkatan Udara memutakhirkan persyaratan militer dan menemukan bahwa Model 464-17 memenuhi hampir semua persyaratan kecuali untuk jangkauan yang masih belum mencukupi. Dalam rangka menghadapi perubahan persyaratan ini, Boeing terus melakukan pengembangan pesawat dan menghasilkan Model 464-29 dengan kecepatan jelajah tertinggi 455 mil per jam (395 kn, 730 km/jam) dan jangkauan 5.000 mil. Pada bulan September 1947, Komite Pengeboman Berat diadakan untuk memastikan persyaratan kinerja pesawat pengebom nuklir. Diformalkan pada tanggal 8 Desember 1947, persyaratan ini menuntut kecepatan jelajah tertinggi 500 mil per jam (440 kn, 800 km/jam) dan jangkauan mencapai 8.000 mil (7.000 nmi, 13.000 km).

Persyaratan tersebut jauh melampaui kemampuan yang dimiliki oleh Model 464-29. Pada tanggal 11 Desember 1947, Boeing awalnya membatalkan kontrak dengan Angkatan Udara karena perubahan persyaratan yang signifikan tersebut. Namun, permohonan dari presiden perusahaan, William McPherson Allen, kepada Sekretaris Angkatan Udara Stuart Symington menyebabkan pembatalan kontrak tersebut ditolak. Allen berargumen bahwa desain pesawat B-52 dapat disesuaikan dengan teknologi penerbangan yang sedang berkembang dan memenuhi persyaratan yang lebih ketat. 

Pada Januari 1948, Boeing diberi instruksi untuk mengeksplorasi inovasi teknologi terbaru, termasuk pengisian bahan bakar di udara dan sayap terbang. Selama periode waktu ini, Boeing terus melakukan revisi terhadap desain pesawat dan pada bulan April 1948, mereka mengajukan proposal senilai US$30 juta (setara dengan US$31,3 miliar pada nilai saat ini) untuk mengembangkan, membangun, dan menguji dua prototipe Model 464-35. Dengan berlanjutnya penelitian dan pengembangan, pesawat akhirnya mencapai spesifikasi yang diinginkan oleh Angkatan Udara. 

Pesawat ini memiliki kecepatan jelajah tertinggi mencapai 513 mil per jam (445 kn, 825 km/jam) pada ketinggian 35.000 kaki (10.700 m), jangkauan sejauh 6.909 mil (6.005 nmi, 11.125 km), dan berat kotor mencapai 280.000 pon (125.000 kg). Pesawat tersebut dapat membawa muatan bom seberat 10.000 pon (4.500 kg) dan memiliki kapasitas bahan bakar sekitar 19.875 galon AS (75.225 L).

Sistem avionik di pesawat pengebom ini sangatlah banyak, saya mengambil salah satu contoh yaitu Sistem Pemantauan Elektro-Optik AN/ASQ-151 (Electro-Optical Viewing System atau EVS) merupakan salah satu komponen penting dari avionik pesawat B-52 Stratofortress. EVS adalah sistem yang dirancang untuk memberikan kemampuan pemantauan visual menggunakan sensor elektro-optik, seperti kamera inframerah. Fungsinya adalah untuk membantu navigasi dan operasi pesawat, terutama dalam kondisi cuaca buruk atau saat terbang pada malam hari.

Dengan demikian. pesawat B-52 Stratofortress adalah salah satu pesawat pengebom strategis yang telah beroperasi dalam Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) selama beberapa dekade ini. Pesawat ini memiliki sejarah panjang dan telah mengalami beberapa pengembangan serta peningkatan dalam sistem persenjataannya. Pesawat B-52 memiliki kemampuan membawa rudal nuklir dan rudal konvensional dalam bermacam-macam konfigurasi, termasuk dalam ruang bawah sayap dan dalam ruang bom internal. Rudal nuklir yang pernah digunakan oleh B-52 seperti AGM-86B/C/D Air-Launched Cruise Missile (ALCM), yaitu rudal jelajah dengan jangkauan jauh yang dapat membawa hulu ledak nuklir atau konvensional. Mereka dapat diarahkan untuk menghantam sasaran darat. AGM-129 Advanced Cruise Missile (ACM), rudal jelajah nuklir yang memiliki kemampuan manuver dan sistem penghindaran radar. 

Selain itu pesawat B-52 dapat membawa berbagai jenis bom, baik bom konvensional maupun berpemandu. Beberapa di antaranya adalah Mark 82, 84, dan 117, bom konvensional yang memiliki berbagai bobot dan hulu ledak. Bom B61 dan B83, bom nuklir yang dapat digunakan dalam berbagai kekuatan ledakan. Bom GBU-31, GBU-38, dan GBU-54, bom berpemandu GPS yang memiliki akurasi tinggi. Yang terahkir pesawat B-52 juga dilengkapi dengan kemampuan membawa rudal udara-ke-udara untuk pertahanan diri seperti AIM-9 Sidewinder: Rudal udara-ke-udara pendek jangkauan yang digunakan untuk pertahanan diri. AIM-120 AMRAAM: Rudal udara-ke-udara jarak menengah yang digunakan untuk menghadapi ancaman udara.

Kesimpulannya meskipun sudah berusia beberapa dekade(tua), B-52 terus mengalami peningkatan teknologi dan pembaruan sistem persenjataan. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pesawat B-52 tetap relevan dalam menghadapi ancaman dan peperangan modern. B-52 memiliki peran penting juga dalam hal deterensi nuklir Amerika Serikat. Kehadirannya sebagai pesawat pembawa senjata nuklir atau kemampuannya dalam membawa rudal nuklir, menjadikannya elemen penting dalam strategi pertahanan dan keamanan nasional. 

B-52 juga telah berkontribusi dalam berbagai konflik dan operasi militer, termasuk dalam Perang Vietnam, Operasi Badai Gurun, Operasi Inherent Resolve, Operasi Allied Force. Pesawat ini telah membuktikan kehandalannya dalam berbagai lingkungan dan situasi medan pertempuran. Secara keseluruhan, pesawat B-52 Stratofortress tetap menjadi salah satu aset militer yang penting dan efektif dalam menjalankan berbagai tugas strategis, termasuk proyeksi kekuatan, deterensi nuklir, dan dukungan dalam operasi militer AS dan aliansinya.

Foto B-52 Stratofortress:
 



11. Foto dari pinterest

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa-doa Kristen Katolik dalam bahasa Latin

Apa yang terjadi jika Jakarta di bom dengan Tsar Bomba?

Apa yang terjadi jika Indonesia memiliki senjata Nuklir?